Pagi ini, saya mengantar tetangga saya berbelanja ke pasar tradisional. Tetangga saya adalah ibu dari dua anak perempuan dan nenek dari empat cucu kesayangannya. Saya memanggil beliau Ibu, meski kadang-kadang dirinya memprotes, "Sebat wae Emak." dan tentu saja, tak saya hiraukan. Ibu adalah sosok yang senang bercerita dan gemar memberi. Saat Ramadan, beliau merupakan satu-satunya orang yang akan berteriak dari luar rumah, memanggil nama saya sepuluh menit sebelum azan isya berkumandang. "Neng Deta, hayu taraweh!" Berkat Ibu, saya rajin berangkat ke masjid. Hehe.
▼
Minggu, 21 Juli 2019
Selasa, 02 Juli 2019
Ramadan yang usai dan ingatan-ingatan lain yang berlarian dalam kepala
Kala itu Ramadan hampir usai. Saya tidak pergi ke masjid untuk itikaf, tidak juga berusaha menamatkan bacaan Al-quran hingga mencapai surat ke-114. Jangan ditanya, ibadah ritual saya-seperti yang kau tahu-begitu lemah. Jangan kau tanya juga bagaimana ibadah sosial saya, karena sungguh sama lemahnya. Saya merasa sangat pilu karena rekan-rekan saya disibukkan dengan aktivitas sosial seakan sudah tidak peduli dengan masalah-masalah pribadi, sementara saya, dari waktu ke waktu masih saja disibukkan dengan kesedihan pribadi, merenungi nasib buruk pada diri sendiri, dan tenggelam dalam angan yang tidak pasti Celaka, sungguh merugi diri saya ini. Saya berulang kali membuat daftar resolusi, berulang kali pula saya mematahkannya. Kadang kala, saya membenci diri saya sendiri. Saya abai terhadap hal-hal sederhana, sehingga tak terasa, mereka bergumul membuat destruksi besar dalam hidup saya. Hal ini pula yang sempat dikatakan oleh mantan kekasih saya, dulu kala sebelum masehi. Selaras. Egois. Tidak memperhatikan hal-hal kecil, dan tak acuh. Ahhhh ... Tak tahu saja ia sebagaimana besarnya usaha saya. Ya Tuhan ... Saya meracau terlalu banyak di paragraf pembuka. Maafkan.