Malam
ini, saya teringat tokoh Madrim yang diperankan oleh Aming dalam film layar
lebar garapan sutradara Hanung Bramantyo. Ia mengalami keputusasaan yang tak
berujung. Memohon, tidak lagi ia lakukan. Sudah lelah, tampaknya. Beberapa kali
harapnya kandas, kendati ia meminta dengan cara halus sampai cara yang lantang
sekali pun. Tibalah ia pada posisi di mana dirinya menganggap Tuhan takkan lagi
mengacuhkannya. Maka, dengan niat menggebu-gebu, dirinya menciptakan sebuah
terobosan dengan harapan Tuhan hendak luluh. Ia menyisipkan ancaman dalam
doanya. Dirinya mengancam jika Tuhan masih enggan menjawab do’anya, ia akan
berpaling. Lantas, apa yang ia peroleh? Sesungguhnya ia tak mendapatkan apa
pun. Tuhan dengan Rahmat-Nya, mengizinkan ia terus mengancam sesuai yang
dirinya kehendaki. Kemudian, ia terombang-ambing dan tersesat.
Sejujurnya,
saya pernah berada dalam posisi Madrim. Di mana Tuhan tak coba mencegah saat
saya berbuat khilaf kendati setiap malam saya berdoa dengan air mata berurai.
Doa saya hanyalah satu, “Ihdinasshiraathal mustaqiim. Tunjukanlah kami
jalan yang lurus.” Saya hanya ingin satu langkah lebih dekat dengan-Nya. Namun,
doa-doa saya seakan menguap tak jelas arahnya. Saya berbuat khilaf, Tuhan
biarkan. Saya berdosa, Tuhan tak beri peringatan. Saya merasa putus asa sampai
saya berada pada titik di mana saya teramat marah pada Tuhan.