“Kertas boleh robek, buku pun boleh musnah. Namun, sesuatu yang terkandung di dalamnya, semoga temukan abadiah. Hidup bersama orang-orang yang telah membaca karya yang tak seberapa ini."
Penggalan dari prakata Gubahan Pertama yang
menggambarkan betapa kuatnya nilai sebuah tulisan. Seperti yang diutarakan oleh
Pramoedya Ananta Toer bahwa menulis adalah bekerja untuk keabadian. Jika
ditelisik, bekerja dalam arti sempit berarti menghasilkan suatu produk. Pun
halnya dengan menulis. Produk berupa perenungan, pemikiran mendalam atau
sekadar hiburan berbalut rangkaian aksara tercipta karena prosesnya. Inilah
yang kelak akan memengaruhi pola pikir dan perilaku manusia sehari-hari. Input
dari tulisan ini yang kiranya akan hidup secara terus menerus dalam diri
pembaca.
Gubahan Pertama ini terdiri dari 58 puisi dengan tema yang beragam. Mengapa Gubahan Pertama? Kata ‘gubah’ atau ‘gubahan’ yang selama ini kerap kali difungsikan untuk musik, terlebih karya klasik, secara harfiah berarti sebuah karangan, terutama yang masuk ke dalam kesusastraan. Diluar nilai harfiah, saya ingin menegaskan bahwa Gubahan Pertama adalah karya komunitas Majalengka BookEaters yang pertama, pure, di luar dari fakta bahwa beberapa kontributor telah memiliki karya sendiri yang dibukukan. Pemilihan judul Gubahan Pertama ini menyiratkan makna kerja sama serta kekompakan. Dan, jika ada yang ‘pertama’ tentu akan ada bilangan lainnya yang mengikuti. Bagaimana jika yang ‘pertama dan terakhir’? Ah, itu lain hal.
Bila Esok Tiada; Jejak; Lukisan Fana; Memuliakan Usia;
dan Perjalanan
merupakan serangkaian puisi yang digubah oleh Alifadha Pradana yang
sebelumnya telah menulis beberapa antologi lain yang sudah dibukukan. Menurut
saya, kekuatan puisi-puisi Alifadha terletak pada pesan moral yang disampaikan.
Di sana,
Ada corak cerah ceria
Juga tersemat warna kelabu duka
(Lukisan Fana)
Penulis sepertinya memang berkecimpung dalam karya
sastra yang santun, tidak lepas dari image tersebut. Ia nyaman menggunakan
diksi sederhana, kendati saya yakin bahwa penulis masih bisa mengeksplor lebih.
Puisi-puisi penulis saya ibaratkan sebagai sebuah jembatan untuk
menyampaikan nilai-nilai kebenaran. Diksinya tidak mewah dan pesan dari
puisi penulis sudah bisa didapatkan hanya dengan sekali membaca, tak perlu
menggali lebih dalam untuk mendapatkan pesan moralnya.
Aku akan terus melangkahmewujudkan semua dambayang menghasrat di jiwa.Dan semoga ...semua kan menjelma nyata.(Jejak)
Namun, jika saya melihat dari sudut pandang berbeda,
tampaknya penulis ingin menyampaikan pesan kepada semua pembaca yang tak
terbatas usia, maka dari itu beliau menyederhanakan pemilihan diksinya.
Seperti yang diungkapkan oleh Yunka, bahwa puisi-puisi
karya Alifadha Pradana benar-benar mencerminkan kelembutan hati seorang ibu.
Dilema Manusia Setengah Pagi dan Malam karya Zakir Al Fatih.
Yunka mengungkapkan bahwa dirinya mengagumi sensibility
yang dimiliki oleh penulis. Penulis mengisahkan orang-orang nokturnal yang
berjudi dengan keadaan demi menghidupi diri.
Bertahan tetap terjagaAtau,Tidur nyenyak tak dapat apa-apa
Tiga puisi penulis lainnya yakni Gadis Api;
Kenangan di Tepi Dermaga dan Untuk Rindu berhasil menarik perhatian
Yunka. Hanya saja, Yunka memiliki ekspetasi lebih terhadap penulis. Ia percaya
bahwa penulis yang memiliki sense of literature yang tinggi, mampu
menghidupkan puisi-puisinya secara lebih maksimal.
Saya dan Yunka memiliki kesamaan pendapat mengenai Serambi
karya Erika Reieru. Kami sama-sama menyukainya. Terlebih lagi, Yunka
mendapati sebuah ketulusan penulis dalam karyanya. Yunka pun mengungkapkan
bahwa diksi yang disajikan penulis dalam Serambi cukup menarik dan tidak
monoton, berhasil menyampaikan pesan dengan baik.
Jika ditelisik, Serambi ini jelas membicarakan
seseorang (yang saya yakini adalah seorang anak). Penulis mengambil sudut
pandang sebuah serambi yang menjadi saksi bisu perbincangan sebuah keluarga.
Perasaan rindu, homesick dan kedewasaan menjadi suguhan utama.
Kedewasaan memang memisahkan. Terdapat pilu pada paragraf terakhir.
Dan kini hanya terdiam berdampingan menembus waktu
Dari penggalan di atas, saya menangkap bahwa serambi
sebagai mata lain tengah merasa pilu atas perasaan orang tua yang terpaksa
berpisah dengan anaknya atau siapa pun itu yang tidak disebutkan.
Selain Serambi, penulis menulis puisi berjudul Kelakar
Benih; Sang Hujan dan Nyiur Aceh.
Kelakar Benih mengambil tema mengenai keserakahan manusia dengan
menganalogikan benih pohon yang menyerap sari-sari semesta tanpa menyisakan apa
pun untuk benih lainnya hingga ia kokoh namun tak berbuah ranum. Esensinya
memang luar biasa karena cakupannya hanya sebatas benih-benih pohon.
Yunka menelisik lebih dalam mengenai sari-sari semesta
yang terserap yang kemudian menjadikan pepohonan sebagai penyumbang oksigen
terbesar bagi makhluk lain. Dalam hal ini, jika penulis mencakup objek yang
lebih luas maka analogi ini membutuhkan penyempurnaan lebih lanjut.
Berbeda dengan Kelakar Benih, Nyiur Aceh
menyajikan tema mengenai cinta pada pandangan pertama. Makna yang Yunka tangkap
dari puisi ini adalah ... bahwa seseorang yang sekian lama diam di hutan pinus
akhirnya tergoda oleh keindahan Nyiur Aceh untuk kali pertama. Ia meninggalkan
pinus demi mengejar sesuatu yang ternyata tak seindah yang ia bayangkan di
awal. Sesuatu yang menarik bahwa penulis membuat analogi menggunakan istilah
pinus dan Nyiur Aceh. Adakah keduanya memiliki filosofi tersendiri atau hanya
dipilih secara random?
Setelah membaca Angin, Duka Mulia Majalengka, Sahabat dan Sunada karya Rafli Rizki, saya mengambil satu kesimpulan bahwa penulis selalu menyisipkan satire di setiap puisi-puisi karangannya. Baik dalam keseluruhan bait atau hanya pada larik-larik tertentu saja.
Karena leluhur berbudi luhur!(Duka Mulia Majalengka)
Penulis juga mengangkat isu lokalitas yang teramat
kental dalam Duka Mulia Majalengka. Dengan menyebutkan serangkaian nama leluhur
yang disambat oleh tokoh aku dalam puisinya, saya merasa bahwa pengetahuan
penulis mengenai sejarah Majalengka sangatlah dalam. Namun, saya mendapatkan
diksi yang tak memiliki korelasi dalam makna apa pun ataukah saya yang gagal
untuk memaknainya?
Berbeda dengan karya Rafli Rizki yang kentara akan
satire, puisi-puisi AN bak penyegar dalam kumpulan puisi Gubahan
Pertama. Adalah Budi; Johari; serta Wajah, Dompet, Kelamin dan Hati dengan
nuansa jenaka dan diksi sederhana yang memberi gelak tawa sekaligus perenungan.
Dalam puisi Budi, penulis menulis bait yang
serupa. Di bait kedua dengan penambahan tanda baca dan mengubah bait terakhir
menjadi kalimat tanya. Sejujurnya, saya masih menyimpan tanda tanya besar
terhadap puisi ini. Sebagian orang beranggapan bahwa ini tampak seperti puisi
tanpa makna. Namun, saya menangkap ada nilai intelektual yang terkandung di
dalamnya.
Johari memiliki makna hubungan vertikal. Saya merasa
diksinya terkesan membosankan karena terdapat repetitif yang jelas bukan
konsep. Namun, Yunka mengungkapkan bahwa diksi penulis dalam Johari justru
menarik, terlepas dari sisi repetitifnya itu sendiri.
Johari dengan harinyaSedang harinya adalah milik Engkau.(Johari)
Aku menyoroti bait ketiga dalam puisi Wajah,
Dompet, Kelamin dan Hati.
Aku harus kuasai duniaMemang kelaminku perkasaNamun, Ratu Diana lebih menyukai Ratu CleopatraAh ... kelaminku tumpul
Pada larik ketiga, jelas, ini meruapakan sebuah
perumpamaan atas bobroknya nilai moral pada masa sekarang, terlebih perihal isu
LGBT. Namun, saya tak pernah mendapati informasi mengenai Diana yang menyukai
Cleopatra. Benarkah? Atau larik yang tertera memang pure sebuah analogi
saja?
Tuhanku gubahan Shendi Rosyian adalah salah satu puisi
yang menarik perhatian Yunka. Yunka menemukan makna penghambaan diri dari
bait-bait keputusasaan.
Bibir-bibir takdir begitu getiriman tak bisa lagi kuukirPada jalan pikir.Tuhanku,tubuh ini telah lama aku pinjamNamun, hati kian tak mau terpejam.
Dalam perspektif Yunka, terdapat sebuah
ketidakkonsistenan makna. Sejak awal diungkapkan bahwa tokoh aku dalam puisi
berada dalam keadaan yang putus asa dan terombang-ambing dalam imannya.
Sementara tampak kontras dengan keadaan demikian, penulis menuliskan larik ‘Namun,
hati kian tak mau terpejam.” Jika dikorelasikan dengan larik sebelumnya, tokoh
aku menyadari nikmat jasmani yang ia miliki dan menyesal karena masih tak mampu
berbuat apa pun untuk mengukuhkan imannya. Namun, kata ‘terpejam’ yang penulis
tulis tampaknya justru tak menyanggah apa pun. Karena hati terpejam yang Yunka
yakini adalah hati yang mati.
Selain Tuhanku, adalah Kepada Ibu di Tenggorokanku yang
mewakili isi hati para pecundang yang tak sanggup melawan beratnya hidup,
terlebih getirnya patah hati.
IbuAku ingin menua di rahimmu
Tempat dimana aku lahir dulu
Sebelum aku mengenal patah hati
Dari 58 puisi yang tertuang, saya dan Yunka sepakat
bahwa puisi karya Mudofr merupakan puisi pamungkas yang sangat matang.
Berladang di Kepala, Ejawantah dan Udara Rebah merupakan judul-judul yang
ditulis Mudofr. Saya sendiri sebagai seorang penikmat diksi, terkagum-kagum
dengan pemilihan diksi yang Mudof bawa.
Yang sekian waktu ini bukan penghabisan. Sebab,jatuh cinta padamu berulang-ulangseperti waktu mencari bilangan ganjil dalam putaran(Udara Rebah)
Terkesan tangguh, tetapi rapuh. Bilangan ganjil yang
dimaksud yakni angka 13 dalam jam. Mencintai tanpa henti, tetapi tak
mendapatkan apa yang tengah dicari. Dalam tiga larik yang tersaji pada bait
pertama, saya sudah merasakan kepiluan. Mengingatkan saya akan kalimat singkat
“For Sale: Baby Shoes Never Worn” yang ditulis oleh Ernest Hemingway. Demikian
halnya dengan Mudofr. Meski salah satu puisinya sangat panjang, namun setiap
kata yang ia tuliskan selalu bermakna.
Namun, Yunka mengungkapkan bahwa dalam beberapa bait,
ia merasa bahwa puisinya terkadang lepas. Feelingnya tak lagi sampai
namun kemudian terhubung kembali. Seperti itulah.
Selaras dengan Mudofr, puisi-puisi karya Hujan Duri
pun tampak begitu matang. Mengingat penulis telah menerbitkan buku kumpulan
puisinya. Yunka pun mengatakan bahwa tone puisi karya Hujan Duri
mengingatkan dirinya akan karya-karya Kahlil Gibran.
Masih banyak sekali puisi dalam Gubahan Pertama yang
ingin saya bedah totalitas maknanya. Mari kita bedah bersama. Baca bukunya,
pahami maknanya kemudian bertukar pikiran. Saya yakin, banyak sekali perspektif
yang berbeda yang bisa kita obrolkan.
Saya yang menempatkan diri sebagai pembaca, kendati
saya ikut menulis 4 puisi, merasa bahwa para penulis bisa lebih mengembangkan
potensi yang memang sudah dimiliki. Semoga ke depan, akan lahir Gubahan Kedua,
Gubahan Ketiga dan seterusnya.
Hola~
BalasHapusBagus deh tulisannya. Haha..
Aku nyoba ngeblog juga. Bikin baru dan belum diapa-apain.
Baru post pertama. Coba tinggalkan jejak hey kamu. Haha
Wew :p
HapusSemangat, Buk! 😁
Write everything you wanna write.