Rabu, 26 Desember 2018

CATATAN AKHIR TAHUN YANG SEMOGA TEREFLEKSIKAN

Peristiwa beri kita bahan ajar. Bahan yang kelak harus kita renungkan, yang bahkan saat kita tak ingin, ia terus memaksa memori kita untuk memutarnya berulang-ulang, hingga kita muak, hingga kita enggan. Kita berhasil bertahan. Mereguk sedikit saja makna. Lantas kita berpuas diri. Kita merasa paling berpengalaman.

Lalu, Tuhan hantam kita dengan peristiwa lain. Lebih besar, lebih menyakitkan. Kita mengeluh. Merasa hidup paling sengsara. Sementara, kita tak buta. Bahwa kita masih satu level di bawah yang lain. Kita meminum air mentah, di sana menelan air mentah bercampur limbah. Perut kita sakit. Mereka wafat. Lantas, kita kembali dipaksa merenung. Hidup adalah renungan. Mengenai apa-apa yang kita dapatkan dan tidak kita raih. Tentang apa yang menendang hati kita hingga rasa sakit bersayang lebih banyak dari rasa senang di kalbu masing-masing. Mengenai kepuasan dan kesenangan yang luput kita syukuri.

Rabu, 16 Mei 2018

Jika dengan ibadah ritual semuanya selesai, di luar itu kita hanyalah ateis yang menempatkan ego dan pemikiran sendiri di atas segalanya.


Malam ini, saya teringat tokoh Madrim yang diperankan oleh Aming dalam film layar lebar garapan sutradara Hanung Bramantyo. Ia mengalami keputusasaan yang tak berujung. Memohon, tidak lagi ia lakukan. Sudah lelah, tampaknya. Beberapa kali harapnya kandas, kendati ia meminta dengan cara halus sampai cara yang lantang sekali pun. Tibalah ia pada posisi di mana dirinya menganggap Tuhan takkan lagi mengacuhkannya. Maka, dengan niat menggebu-gebu, dirinya menciptakan sebuah terobosan dengan harapan Tuhan hendak luluh. Ia menyisipkan ancaman dalam doanya. Dirinya mengancam jika Tuhan masih enggan menjawab do’anya, ia akan berpaling. Lantas, apa yang ia peroleh? Sesungguhnya ia tak mendapatkan apa pun. Tuhan dengan Rahmat-Nya, mengizinkan ia terus mengancam sesuai yang dirinya kehendaki. Kemudian, ia terombang-ambing dan tersesat.

Sejujurnya, saya pernah berada dalam posisi Madrim. Di mana Tuhan tak coba mencegah saat saya berbuat khilaf kendati setiap malam saya berdoa dengan air mata berurai. Doa saya hanyalah satu, “Ihdinasshiraathal mustaqiim. Tunjukanlah kami jalan yang lurus.” Saya hanya ingin satu langkah lebih dekat dengan-Nya. Namun, doa-doa saya seakan menguap tak jelas arahnya. Saya berbuat khilaf, Tuhan biarkan. Saya berdosa, Tuhan tak beri peringatan. Saya merasa putus asa sampai saya berada pada titik di mana saya teramat marah pada Tuhan.

Kamis, 03 Mei 2018

Laiknya Perempuan Loftus Road, Saya tidak Mudah Sedih oleh Hal-hal Rumit, tetapi Saya Terluka oleh Hal-hal Sederhana. Semisal, Kelakar Berlebih.

Bernard Batubara pernah menulis sebuah kisah pendek mengenai para perempuan yang telah mati sebagai manusia, tetapi tetap hidup sebagai pepohonan, berdiri dengan tabah di sepanjang Loftus Road yang dingin. 

Sebentar, bukan perihal reinkarnasi perempuan Loftus Road yang ingin saya bahas. Terlalu kelam, karena semakin mereka berusaha memeluk harapan, semakin banyak daun-daun mengering dan bertanggalan dari ranting-ranting mereka sendiri. Tinggalah mereka yang gigil dan malang.

Saya ingat dengan jelas kalimat yang diucapkan salah seorang perempuan Loftus Road. Bahwa dirinya tak mudah sedih oleh hal-hal rumit, tetapi mudah terluka oleh hal sederhana. Semisal, dilupakan.

Saya tampak demikian. Terluka oleh hal sederhana, meski bukan dilupakan. Pagi lalu, saya menangis satu jam penuh di dalam kamar mandi hanya karena sebuah kelakar. Sesederhana itu alasan saya. Tentunya, menangis secara diam-diam.