Peristiwa beri kita bahan ajar. Bahan yang kelak harus kita renungkan, 
yang bahkan saat kita tak ingin, ia terus memaksa memori kita untuk 
memutarnya berulang-ulang, hingga kita muak, hingga kita enggan. Kita 
berhasil bertahan. Mereguk sedikit saja makna. Lantas kita berpuas diri.
 Kita merasa paling berpengalaman.
Lalu, Tuhan hantam kita dengan 
peristiwa lain. Lebih besar, lebih menyakitkan. Kita mengeluh. Merasa 
hidup paling sengsara. Sementara, kita tak buta. Bahwa kita masih satu 
level di bawah yang lain. Kita meminum air mentah, di sana menelan air 
mentah bercampur limbah. Perut kita sakit. Mereka wafat. Lantas, kita 
kembali dipaksa merenung. Hidup adalah renungan. Mengenai 
apa-apa yang kita dapatkan dan tidak kita raih. Tentang apa yang 
menendang hati kita hingga rasa sakit bersayang lebih banyak dari rasa 
senang di kalbu masing-masing. Mengenai kepuasan dan kesenangan yang 
luput kita syukuri.
Satu tahun berlalu. Kita berhasil memberi centang pada 
beberapa daftar resolusi. Lulus dengan cumlaude, terbang ke negeri yang 
tidak ada foto Jokowi di kelas-kelas sekolah dasar, menyebutkan nama 
lengkap pasangan di hadapan penghulu atau berdebar mendengar nama 
lengkap disebut dengan diiringi teriakan sah, membeli barang-barang yang
 telah diincar atau sekadar membeli kebahagiaan dengan meneguk satu cup 
plastik kopi yang terdapat nama kita di sana, tetapi kemudian merasa 
menyesal telah menghabiskan terlalu banyak uang untuk kafein yang 
membuat kita terjaga kala malam. Apa pun pencapaiannya, mari akui, kita 
telah berhasil. 
Tiga jam merayakan euforia konser, kemudian berduka selama 
berhari-hari karena ditinggal yang terkasih menuju abadi. Bukankah Tuhan
 terlalu tega? Ungkap kepedihan yang tak urung redam. Tidak. Tak boleh 
lupa, Tuhan ciptakan kesengsaraan dalam setiap tawa. Hidup, sekali lagi, adalah perenungan. Mengenai hal-hal yang tak sanggup kita telan. Merenung tidak lantas mencetak kita menjadi filsuf. Tak 
perlu kita memaksa diri untuk bijak. Jika seribu kalimat pemantik 
semangat terlontar dari mulut Merry Ryana tidak mampu membuat kita 
membenahi hidup, tak mengapa. Jangan terlalu keras terhadap diri 
sendiri. Pertolongan Tuhan datang dari mana saja, dari sesuatu yang 
tidak pernah dibayangkan. Dari tulisan yang sedang kita baca sekarang, 
kita mungkin bisa merenungkannya sejenak. Tak banyak yang bisa diambil, 
tak masalah. 
Dalam kisah Orang-orang Malang, 
Dostoyevski, seorang sastrawan Rusia menuturkan bahwa kemalangan tidak 
terpisahkan dari kebahagiaan, meski porsinya teramat sedikit. Jika pada 
akhirnya, kita merasa bahwa Tuhan menaruh porsi kemalangan jauh lebih 
banyak dari kebahagiaan yang kita dapat,  ingat Al-Baqarah ayat 286, Allah doesn't burden a soul more than it can bear. Dalam
 Matius 7:7, Tuhan menggambarkan kekuatan doa dan pengharapan pada-Nya. 
Lantas, kita hanya akan berdiam diri, menyesali segala sesuatu yang 
terjadi?
Kita mungkin terlalu angkuh kemarin. Paling merasa pandai 
dan benar, selalu memaksakan kehendak, tidak tenang saat segala sesuatu 
tidak berjalan sempurna, yang terburuk, tidak mentolerir perbedaan, 
menganggap yang lain salah karena berbeda. Kini, mungkin kita perlu 
menurunkan sedikit ego, lebih berusaha menekan emosi, kita tidak sedang 
hidup di surga. Tidak ada yang salah dengan perbedaan selama porsinya 
tidak merugikan. Kita berjuang sama-sama, untuk tidak terlalu mudah 
menghakimi yang lain.
Mungkin kemarin, sebagian dari kita yang sudah tidak remaja, menolak untuk membaca teenlit. Kita berkoar-koar bahwa kisah picisan tidak lagi relevan. Tanpa kita sadari, seseorang berusia seperempat abad tengah menahan amarah. Dirinya masih senang larut ke dalam kisah Nathan dan Salma atau Dilan dan Milea. Lantas kita merasa lebih baik dalam hal selera dengan menganggap remeh bacaan yang lain. Mungkin kemarin, kita merasa lebih benar karena telah melahap ratusan buku spiritual. Bisa jadi, mereka yang memutuskan tenggelam ke dalam novel sastra bergaya sedikit ero, lebih menemukan makna spiritualitas dibanding diri kita yang membaca buku akidah dengan maksud untuk menyombongkan diri, merasa paling benar. Menurut Cak Nun, saat kita dengan susah payah membuktikan kebenaran dan menganggap yang lain hitam, bukan kebenaran yang akan tampak, tetapi kita tengah berperang dengan kekuatan ego di mana kekuatan merupakan tataran paling rendah dari manusia. Mari kita renungkan sejenak.
Mulai sekarang, mari kita berusaha mengubah perspektif kita akan apa pun. Seumpama definisi sehat dan sakit 
menurut manusia dan Tuhan, mungkin berbeda 180 derajat. Begitu pun dengan apa yang kita lihat dan pikirkan dengan apa-apa yang sebenarnya terjadi, kita tak akan selalu mengetahui setiap alasan yang bersemayam di balik suatu hal. Lagi-lagi 
mengutip pernyataan Cak Nun, sakit menurut definisi Tuhan bisa jadi 
merupakan penyehatan jiwa dan sehat menurut Tuhan boleh jadi sebagai 
peringatan, ujian, atau hukuman. Manusia berusaha mengobati, tetapi 
Tuhanlah yang mutlak menyembuhkan. Kesimpulannya, yang buruk menurut pola pikir kita, boleh jadi bermanfaat bagi mereka. Begitu pun sebaliknya.
Tidak perlu menunggu 2019 untuk mulai berubah, sesaat setelah baca ini pun mari bermuhasabah sejenak dan mulai memperbaiki segala hal yang mampu kita perbaiki. Menurut Ika Natassa dalam The Architecture of Love, sesungguhnya tidak ada hubungan yang konkrit antara  resolusi dengan momen pergantian tahun yang hanya merupakan euforia sejenak. Kita bisa memulai resolusi kapan saja, tak terbatas waktu.
Mulailah dari hal yang paling sederhana, selalu menjaga kesehatan sebagai wujud kesetiaan kita pada Tuhan yang telah menitipkan jasad dan ruh. Berbahagialah dengan lebih banyak bersyukur dan memberi. Tak sebatas materi, kita bisa memberi senyum atau pun waktu untuk mendengarkan rekan-rekan kita bercerita. Tidak menyela saat mereka belum menuntaskan kisahnya. Yang harus kita yakini, dengan memulai menjadi pendengar yang baik, kita akan banyak memetik pelajaran yang sebelumnya tidak kita dapatkan.
Terima kasih sudah membaca hingga tuntas. Ini seluruhnya merupakan renungan tentangku. Tentang kau. Tentang kita karena aku dengan sengaja menggunakan pronomina persona pertama jamak, agar kita lebih dekat dan tak merasa sendiri. Terima maaf saya atas kalimat-kalimat lancang yang tertuang yang dengan sengaja atau tidak, telah menyinggung hati kalian. Semoga kasih sayang Allah selalu menyertai kita semua. XOXO. 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan berkomentar. :)