Kamis, 03 Mei 2018

Laiknya Perempuan Loftus Road, Saya tidak Mudah Sedih oleh Hal-hal Rumit, tetapi Saya Terluka oleh Hal-hal Sederhana. Semisal, Kelakar Berlebih.

Bernard Batubara pernah menulis sebuah kisah pendek mengenai para perempuan yang telah mati sebagai manusia, tetapi tetap hidup sebagai pepohonan, berdiri dengan tabah di sepanjang Loftus Road yang dingin. 

Sebentar, bukan perihal reinkarnasi perempuan Loftus Road yang ingin saya bahas. Terlalu kelam, karena semakin mereka berusaha memeluk harapan, semakin banyak daun-daun mengering dan bertanggalan dari ranting-ranting mereka sendiri. Tinggalah mereka yang gigil dan malang.

Saya ingat dengan jelas kalimat yang diucapkan salah seorang perempuan Loftus Road. Bahwa dirinya tak mudah sedih oleh hal-hal rumit, tetapi mudah terluka oleh hal sederhana. Semisal, dilupakan.

Saya tampak demikian. Terluka oleh hal sederhana, meski bukan dilupakan. Pagi lalu, saya menangis satu jam penuh di dalam kamar mandi hanya karena sebuah kelakar. Sesederhana itu alasan saya. Tentunya, menangis secara diam-diam.


Seumur hidup saya, saya tak mempermasalahkan humor jenis apa pun. Slapstick, sinisme, satire, cringe, apologisme atau apa pun itu, I'm fine with those! I am fine. Saya bukan tipikal orang yang kaku, yang tidak pernah tertawa pada humor atau sekadar hal receh. Surely, I ever do that. Namun, terdapat satu hal yang tidak bisa saya toleransi sama sekali yakni lelucon berlebihan yang terkesan mengolok-ngolok sesama. 

Terdapat firman Allah dalam Al-Hujurat 11-12 mengenai larangan mengolok-ngolokan sesama. Lantas mengapa manusia tetap tak mengindahkan apa yang telah termaktub dalam kitab suci?
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, boleh jadi mereka yang diperolok-olok lebih baik dari mereka yang mengolok-olok........
Jadi, ini pure curahan hati saya yang merasa tersinggung, ah bukan, sakit hati lebih tepatnya karena jokes yang terlontar dan tertuju pada saya sudah berada di luar kaidah. Saya tak mampu mengeluarkan ekspresi apa pun hari itu. Yang saya tahu, hati saya terluka. Ingin menangis pun rasanya sulit. Malam hari, saya menangis ketika menonton film yang bisa dibilang tidak terlalu menguras emosi. Berdasarkan indikasi tersebut, jelaslah saya menangis bukan karena film, tetapi karena saya yang pada akhirnya mampu meluapkan emosi. Saya menangis diam-diam, tetapi ibu saya tetap menyadari bahwa saya tengah dirundung kegalauan. Beliau memeluk saya dan turut menangis. Saya masih tak ingin mengatakan apa pun karena saya takut menyakiti hati beliau. Dengan saya diam pun, ibu saya menangis, bagaimana jika saya berterus terang? Saya mendapat humor paling buruk di sepanjang perjalanan hidup saya. Humor dengan kata-kata merendahkan yang bahkan tak pernah sekali pun terlontar dari mulut ibu saya. Ibu saya selalu berkata yang baik-baik, tak pernah sekali pun ia menghina orang. Saya menangisi hal ini hingga tersedak pasta gigi di pagi hari.

Hi, kita tidak dilarang untuk bercanda, saling melempar lelucon, menjadi humoris, ataupun mentertawai keresahan, yang Tuhan larang adalah ketika kita melempar wicked jokes yang dapat mencelakakan dan menyakiti hati orang lain. Ini selaras dengan apa yang pernah diungkap oleh Atisha, salah satu penyebar ajaran mengenai Boddhichitta.

Jika perempuan Loftus Road terluka dan menangis di sepanjang hidupnya, tetapi masih menyisakan tempat untuk kata maaf dalam rongga dadanya, maka saya akan melakukan hal yang sama. Setidaknya, kami sama-sama masih merapal doa yang kemudian kami terbangkan ke angkasa. Doa demi kebaikan bersama, agar lebih bisa memaknai penantian atau hanya sekadar kelakar. Bijaklah dalam berlelucon.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan berkomentar. :)