Selasa, 02 Juli 2019

Ramadan yang usai dan ingatan-ingatan lain yang berlarian dalam kepala

Kala itu Ramadan hampir usai. Saya tidak pergi ke masjid untuk itikaf, tidak juga berusaha menamatkan bacaan Al-quran hingga mencapai surat ke-114. Jangan ditanya, ibadah ritual saya-seperti yang kau tahu-begitu lemah. Jangan kau tanya juga bagaimana ibadah sosial saya, karena sungguh sama lemahnya. Saya merasa sangat pilu karena rekan-rekan saya disibukkan dengan aktivitas sosial seakan sudah tidak peduli dengan masalah-masalah pribadi, sementara saya, dari waktu ke waktu masih saja disibukkan dengan kesedihan pribadi, merenungi nasib buruk pada diri sendiri, dan tenggelam dalam angan yang tidak pasti  Celaka, sungguh merugi diri saya ini. Saya berulang kali membuat daftar resolusi, berulang kali pula saya mematahkannya. Kadang kala, saya membenci diri saya sendiri. Saya abai terhadap hal-hal sederhana, sehingga tak terasa, mereka bergumul membuat destruksi besar dalam hidup saya. Hal ini pula yang sempat dikatakan oleh mantan kekasih saya, dulu kala sebelum masehi. Selaras. Egois. Tidak memperhatikan hal-hal kecil, dan tak acuh. Ahhhh ... Tak tahu saja ia sebagaimana besarnya usaha saya. Ya Tuhan ... Saya meracau terlalu banyak di paragraf pembuka. Maafkan.
Saya tak tahu pasti, apa yang akan saya tuliskan. Namun, saat mengetik ini, banyak sekali hal-hal lampau berkelebat di kepala saya, seperti potongan film lama yang diputar ulang. Saya paham ketika beberapa penulis mengatakan bahwa menulis merupakan sebuah terapi. Yang saya rasakan demikian, kendati saya pemalas, tetapi ketika saya menulis, saya merasakan nostalgia yang berkepanjangan. Ingatan saya tiba-tiba menjadi lebih tajam. Saya senang melakukan aktivitas ini.

Pada pekan terakhir Ramadan, saya memutuskan bertemu dengan rekan-rekan komunitas. Melingkar, berbagi informasi mengenai buku bacaan, dan mengobrol santai di rerumputan Taman Dirgantara yang menjadi tempat cukup menyenangkan untuk dikunjungi seraya menanti azan magrib berkumandang. Mereka, rekan-rekan saya, saling bertukar pikiran dan sudut pandang. Saya, hanya menyimak dengan serius kala itu, sesekali tertawa dan berkomentar ala kadarnya. Seraya menyimak, saya sedikit berpikir, mengapa rekan-rekan saya begitu pintar. Dalam pertanyaan yang tak terlontarkan itu, ada sedikit rasa iri. Kemudian, muncul anak pertanyaan lain. Buku apa yang telah mereka baca. Pada siapa mereka belajar, dan sebagainya. Saya selalu merasa rendah diri. Saya mendapati tafsir, asal-usul wilayah, filsafat pada daftar buku yang mereka baca, sementara saya masih asik dengan fiksi dan esai ringan.

Salah satu rekan saya berkata, "Ada begitu banyak buku di dunia ini. Dan kita harus hidup berkali-kali untuk membaca semuanya. Hidup, mati, kemudian hidup lagi, mati lagi, begitu seterusnya, tak ada ujungnya." Saya menyimaknya dengan saksama. Rekan saya, mengakhiri paragrafnya dengan kalimat pamungkas yang menjadi inti dari semuanya, "Untuk apa kita menghabiskan waktu dengan membaca buku yang tidak bagus?"
Saya ingin melontarkan pertanyaan, tetapi urung. Pertanyaan yang saya simpan dalam hati sampai saya mengetik ini, "Bagaimana saya tahu bahwa buku satu bagus, sementara yang lain tidak, jika saya tidak membacanya. Tolak ukur bagus itu seperti apa?" Kemudian muncul pertanyaan lain, "Apakah buku-buku yang saya baca selama ini termasuk ke dalam kategori bagus?" Saya ingat, beberapa waktu lalu saya membaca sebuah thread di twitter mengenai fiksi remaja pada flatform wattpad. Pro kontra, tentu saja. Setiap orang melantangkan argumen dan mempertajam perspektifnya. Saya menangkap intinya.

Gita Romadhona, seorang editor fiksi, pernah mengatakan bahwa sebuah alur cerita fiksi akan tampak mainstream bagi mereka yang memasuki kepala dua, tiga, empat, dsb. Tentu, banyak peristiwa dan scene yang tampak familiar dan sering mereka dapati di film, kehidupan sehari-hari, bahkan buku fiksi lain. Namun, jika kita lihat fenomena yang ada, kenapa toko-toko buku justru dipenuhi dengan fiksi-fiksi remaja? Silakan direnungkan. Gita mengatakan bahwa kita, sebagai orang dewasa yang selalu merasa lebih tahu banyak, lebih berpengalaman, lebih pintar, seharusnya tidak bersikap egois. Ada banyak sekali remaja di luar sana yang masih berada dalam tahap memulai untuk membaca. Peristiwa dan scene yang tampak familiar bagi kita, belum tentu demikian untuk mereka. Maka, biarkanlah buku-buku semacam itu tetap ada demi meningkatkan minat baca remaja-remaja yang masih menyesuaikan bahan bacaannya. Pada akhirnya, seinring berjalannya waktu, mereka akan semakin terampil memilah bacaan yang pantas dan cocok untuk mereka. Juga sesuai dengan keresahan dan masalah yang ingin mereka pecahkan atau pertanyaan-pertanyaan di kepala yang ingin mereka jawab.

Masih dalam peristiwa lampau, saya menamatkan sebuah drama korea mengenai usaha orang tua agar anaknya diterima di perguruan tinggi ternama, menghalalkan segala cara, tak terkecuali menjejalkan pemikiran Nietszhe pada anak-anak sekolah dasar dengan maksud agar anak-anak tersebut terbiasa berpikir ilmiah sejak dini, juga agar tampak berkelas. Bukan masalah sebetulnya. Namun, jika dengan paksaan dan membebani pikiran-pikiran mereka, bagi saya itu erat kaitannya dengan perilaku tidak menyenangkan.

Saya pernah mengupas tuntas pada postingan "Menjamah Ingatan kala Sastra Terjamah"mengenai bagaimana saya yang sama sekali tidak suka membaca, pada akhirnya lebih banyak menghabiskan waktu (dan uang) untuk buku. Saya merangkak, berjalan perlahan, hingga akhirnya stabil. Saya tidak langsung membaca Hemingway atau Dostoyevski, yang benar saja!

Maaf, tampaknya, curahan hati saya sudah bercabang, tidak berarah, dan menjalar ke mana-mana. Lebih baik saya sudahi saja. Terima kasih, teman-teman karena sudah menyempatkan diri untuk membacanya. 
Pada akhirnya, saya hanya ingin mengatakan bahwa tak apa, bacalah apa pun yang sekiranya membawa manfaat baik bagi kehidupan. Bahkan jika hanya menyuguhkan hiburan semata. Setidaknya, bisa mengurangi beban pikiran kita, kan? Dan, satu hal lagi, bacalah segala sesuatu yang menambah rasa cinta dan syukur kita pada Sang Pencipta. Tak terbatas pada buku cetak, melainkan membaca alam semesta. Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Ya Tuhan ... Saya berani-beraninya memberi nasehat, sementara diri saya sendiri masih sangat serampangan.

Omong-omong, saya sedih karena melewati Ramadan dan melaksanakan Idul Fitri dengan perasaan kosong. Lantas apa yang saya rayakan? Masih banyak amarah, dendam, dan rasa tidak bersyukurnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan berkomentar. :)