Minggu, 21 Juli 2019

Uang Tidak Salah

Pagi ini, saya mengantar tetangga saya berbelanja ke pasar tradisional. Tetangga saya adalah ibu dari dua anak perempuan dan nenek dari empat cucu kesayangannya. Saya memanggil beliau Ibu, meski kadang-kadang dirinya memprotes, "Sebat wae Emak." dan tentu saja, tak saya hiraukan. Ibu adalah sosok yang senang bercerita dan gemar memberi. Saat Ramadan, beliau merupakan satu-satunya orang yang akan berteriak dari luar rumah, memanggil nama saya sepuluh menit sebelum azan isya berkumandang. "Neng Deta, hayu taraweh!" Berkat Ibu, saya rajin berangkat ke masjid. Hehe.


Di perjalanan menuju pasar, tangan Ibu memegang perut saya dengan erat. "Neng," sapanya kemudian dan saya menyadari bahwa Ibu akan mulai bercerita. Saya memelankan laju motor dan mencoba membagi konsentrasi menyetir saya pada jalanan dan cerita yang hendak Ibu kisahkan. 

Banyak sekali kisah yang beliau ceritakan, dari hal yang saya pahami di luar kepala hingga sesuatu yang sama sekali tidak saya ketahui. Saya mendengarkan beliau dengan saksama. Ketika suara beliau terdengar pelan karena kalah oleh deru angin atau suara laju kendaraan yang mendahului, saya akan mengangguk-anggukan kepala saya, menunjukkan rasa antusias saya meski saya tidak tahu apa yang tengah beliau bicarakan. Sesekali saya memberi tanggapan, "Oh muhun." atau sekadar berhaha-hehe. Saya tidak ingin beliau merasa tidak didengar. 

Sampailah beliau pada topik pembahasan mengenai uang. Saya kerap kali mendengar rekan-rekan saya mengatakan bahwa uang adalah hal yang sangat sensitif. Banyak hal buruk terjadi karena uang. Uang memang bukan segalanya, tetapi tanpa uang, segalanya tidak berarti apa-apa. Begitu kata mereka. Saya juga sempat ingin tahu, seberapa jauh uang bisa mengendalikan sikap dan perilaku manusia? Banyak pasangan suami-istri bertengkar karena uang. Banyak persahabatan berakhir karena uang. Banyak manusia depresi karena uang. Bayak manusia menjadi kriminal karena uang. Saya flashback ke masa ketika saya masih belajar di perguruan tinggi. Karena uang smester yang belum saya bayarkan, saya dikeluarkan dari ruang ujian. Satu-satunya hal yang saya rasakan pada saat itu adalah rasa malu. Saya tidak peduli pada nilai atau ipk karena tidak mengikuti ujian, tetapi saya merasa diinjak-injak di depan orang banyak dengan tidak diperbolehkannya saya mengikuti ujian. Kendati setelahnya saya menyadari bahwa 90% adalah kesalahan saya yang tidak bisa memenuhi syarat yang telah disepakati sebelumnya. 

"Artos mah henteu lepat, Neng." Ibu mengungkapkan sebuah opini yang membuat jantung saya berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Uang tidak salah. Uang tidak salah. Uang tidak pernah salah. Saya mengulang kalimat itu dalam hati hingga beberapa kali. Menurut Ibu, uang itu relatif. Besar kecil, tidak tergantung nominal. Kelanjutannya, seperti yang saya duga, Ibu mengaitkannya dengan rasa syukur yang seharusnya kita panjatkan. Tak peduli, sejumlah apa uang yang kita miliki. Saya jadi teringat kakak sepupu saya saat pertama kali ia diterima kerja. Saat itu, dengan polos saya bertanya mengenai gaji (memang kurang ajar sekali saya ini), kakak sepupu saya menjawab, "Gajiku cukup." Istilah cukup pun multitafsir menurut saya. Cukupnya sepupu saya, saya tafsirkan cukup untuk beli rumah, cukup beli mobil, cukup untuk traveling dan makan makanan enak. Hehehehe. 

Ibu kemudian bertanya, "Artos lima rebu seueur teu, Neng?" Saya menjawab dengan dua kemungkinan, jika saya hanya ingin membeli permen, maka uang lima ribu itu terlalu banyak. Namun, tak akan ada artinya jika saya ingin membeli skin care Korea yang bisa membuat wajah glowing seperti bohlam. Ibu membenarkan. Itulah intinya. Semua kembali pada kebutuhan dan hasrat manusia akan uang itu sendiri. 

Setelah selesai mengantar Ibu berbelanja, giliran Mama saya yang saya antar ke pasar. Saya menceritakan kembali pada Mama bagaimana Ibu berbicara mengenai uang. Sesaat, raut wajah Mama saya terlihat kesal saat mendapati uang kembalian dari pedagang sayur yang lecek, kumal, dan sedikit sobek. "Ih... Uang teh atuh jelek gini!" seru Mama kesal. Saya tanggapi dengan bijak, "Ma, jangan caci maki uang. Uang tidak salah." 

Terima kasih Ibu, untuk cerita-ceritanya. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan berkomentar. :)